Kamis, 17 November 2016

SHALAT



Sedemikian besarnya kasih sayang Allah kepada manusia, berbeda dengan sultan dan raja. Allah senantiasa membuka pintu dan memberi kesempatan serta mengangkat tirai-tirai-Nya, lalu memberi izin bagi hamba-Nya untuk menghadap, berjumpa dan bercakap mesra bersama-Nya melalui shalat, di mana dan kapan saja.

Arti shalat secara syariat ialah menghadapkan ruh, hati, jiwa, dan raga dan melakukan perhubungan kepada Allah sebagai suatu ibadah/dzikir akbar dalam bentuk beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan Takbirat-ul-ihram dan diakhiri dengan Salam, serta harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat Islam sebagaimana telah diperagakan oleh Rasulullah Saw dalam kehidupan sehari-hari beliau.

Artinya kita harus meng-Akbar-kan Allah dalam setiap keadaan hidup yang kita hadapi, susah, senang, lapang maupun sempit, sampai akhirnya kita memperoleh kedudukan yang selamat atau bahagia, sehingga kita bisa menyelamatkan dan membahagiakan orang di sekitar kita. Maka dengan mendalami hakikat shalat tahulah kita bahwa praktik shalat merupakan miniatur kehidupan manusia.
Dengan demikian dapatlah kita hayati, mengapa dalam panggilan shalat itu ada kalimat yang berbunyi “hayya ‘alash-shalah” (marilah mendirikan shalat) yang kemudian diiringi dengan “hayya ‘alal-falah” (marilah meraih kebahagiaan).

Dengan demikian tak akan ada kemenangan dan kebahagiaan yang hakiki yang dapat diraih tanpa mendirikan shalat, dan setiap kebahagiaan harus digapai dengan perjuangan dan kesabaran serta pengorbanan. “...serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kapada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah:18).

 Related image

Shalat adalah perbuatan jasmaniah dan sekaligus perbuatan ruhaniah manusia, sebagaimana badan manusia memerlukan makanan, maka jiwa manusia juga memerlukan makanan pula. Lima kali sehari semalam seorang Muslim wajib mendiikan shalat.
Islamlah yang pertama-tama mengintegrasikan antara ibadah dengan kehidupan sehari-hari. Islam tidak mengenal sabbat sebagaimana yang dikenal oleh agama-agama lain, yaitu sehari dalam seminggu khusus diadakan peribadatan dengan tidak mengerjakan pekerjaan lain.
Bila kita mengkaji firman Allah dalam Al-Qur’an, maka akan kita temukan kategori shalat dalam penilaian Allah Swt, yaitu:

a. Shalat mabuk
Firman Allah Swt, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendirikan shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisa’:43).
Dalam firman-Nya di atas, jelas-jelas Allah melarang orang yang sedang mabuk untuk mendirikan shalat sampai mereka mengerti apa yang mereka ucapkan dalam shalat.

b.      b. Shalat lalai

Firman Allah Swt, “Maka kecelakaanlah (wail) bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai (sahun) dari shalatnya.” (QS Al-Ma’un: 4-5).

Dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menjelaskan tantang makna yang terkandung dalam firman Allah di atas, yaitu menunjuk kepada orang-orang yang lemah iman. Sekalipun telah melakukan shalat, namun shalat itu justru membawa kecelakaan bagi dirinya, karena tidak dilaksanakannya dengan penuh kesungguhan. Shalat itu dilaksanakannya tidak bersumber dari kesadaran, bahwa sebagai seorang hamba, sudah sepatutnyalah dia memperhambakan diri kepada Allah dan mendirikan shalat sebagaimana yang diperintahkan Allah dengan perantaraan Nabi-Nya.

c.       c. Shalat malas/munafik

Mereka yang mengerti apa yang diucapkan, namun tidak mematuhi atau melaksanakan apa yang diucapkannya ketika shalat, disebut juga sebagai shalat orang-orang munafik. Mereka mendirikan shalat hanyalah untuk menipu Allah dan orang-orang beriman, sementara di dalam hatinya bersarang benci dan dendam kepada kaum Muslimin. Kalau diseru untuk shalat mereka akan datang dengan malas.

d.      d. Shalat khusyuk

Agar kita dapat melakukan shalat dengan khusyu’, maka Nabi Saw mengajarkan kita dalam menjalankan setiap perbuatan berlaku ihsan. Artinya, ketika shalat, hendaklah kita melihat Allah, namun kalau kita tidak bisa melihat Allah, hendaklah kita yakin bahwa Allah sedang melihat apa yang sedang kita kerjakan.

Ketika menjawab pertanyaan sahabatnya Zi’lin al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Rabb Anda?”, Imam ‘Ali berkata, “Bagaimana saya mengabdi kepada dzat yang tidak pernah saya lihat?” Zi’lin pun bertanya lagi, “Bagaimana Anda melihat-Nya?” Imam Ali menjawab, “Dia tidak bisa dilihat dengan pandangannya yang kasat, tapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan.”

e.       e. Shalat hafidz/terpelihara

Mereka yang sudah mampu shalat dengan khusyu’ secara berkesinambungan disebut sebagai orang yang shalatnya terpelihara atau shalat hafidz. Sebagai dampaknya mereka terpelihara dari perbuatan keji dan munkar. “Dan orang-orang yang memelihara shalatnya; Mereka itu kekal dalam Jannah lagi dimuliakan.” (QS Al-Ma’arij: 34-35).

f.        f. Shalat da’im/berketetapan
Mereka yang sudah dapat mengaplikasikan nilai-nilai shalat di luar waktu shalat, itulah yang disebut sebagai orang yang da’im dalam shalatnya. Ia berusaha semaksimal mungkin mengaktualisasikan shalat dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu segala aktivitas yang dilakukannya selalu disesuaikan dengan aturan Allah dan sunnah Rasul-Nya. Lisan mereka tidaak pernah lalai menyebut Allah, hati mereka tidak pernah luput berhubungan dengan Allah, sekalipun pada saat itu mereka sedang berkarya maupun berniaga. Mereka berupaya semaksimal mungkin untuk menyatukan gerak hati, gerak lisan dan gerak perbuatannya dalam rangka mengikuti Qadrat dan Iradat-Nya semata.

Menurut Imam Al-Ghazali, berdasarkan bacaan dalam shalat, manusia dapat diklasifikasikan dalam tiga golongan, yaitu:
1)      Seseorang yang lidahnya bergerak, tapi hatinya lupa dan lalai
2)      Seseorang yang lidahnya bergerak, hatinya mengikuti lidahnya, lalu ia memahaminya seolah-olah ia mendengar dari orang lain
3)      Seseorang yang hatinya mendahului makna bacaan, lalu lidahnya melayani hati setelah menerjemahkannya. Jadi lidah mereka sebagai juru terjemah yang mengikuti hati, bukan hati yang mengikuti lidah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar