Sedemikian besarnya kasih sayang
Allah kepada manusia, berbeda dengan sultan dan raja. Allah senantiasa membuka
pintu dan memberi kesempatan serta mengangkat tirai-tirai-Nya, lalu memberi
izin bagi hamba-Nya untuk menghadap, berjumpa dan bercakap mesra bersama-Nya
melalui shalat, di mana dan kapan saja.
Arti shalat secara syariat ialah
menghadapkan ruh, hati, jiwa, dan raga dan melakukan perhubungan kepada Allah
sebagai suatu ibadah/dzikir akbar dalam bentuk beberapa perkataan dan perbuatan
yang dimulai dengan Takbirat-ul-ihram
dan diakhiri dengan Salam, serta
harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat Islam
sebagaimana telah diperagakan oleh Rasulullah Saw dalam kehidupan sehari-hari
beliau.
Artinya kita harus meng-Akbar-kan Allah dalam setiap keadaan
hidup yang kita hadapi, susah, senang, lapang maupun sempit, sampai akhirnya
kita memperoleh kedudukan yang selamat atau bahagia, sehingga kita bisa
menyelamatkan dan membahagiakan orang di sekitar kita. Maka dengan mendalami
hakikat shalat tahulah kita bahwa praktik shalat merupakan miniatur kehidupan
manusia.
Dengan demikian dapatlah kita
hayati, mengapa dalam panggilan shalat itu ada kalimat yang berbunyi “hayya ‘alash-shalah” (marilah mendirikan
shalat) yang kemudian diiringi dengan “hayya
‘alal-falah” (marilah meraih kebahagiaan).
Dengan demikian tak akan ada
kemenangan dan kebahagiaan yang hakiki yang dapat diraih tanpa mendirikan
shalat, dan setiap kebahagiaan harus digapai dengan perjuangan dan kesabaran
serta pengorbanan. “...serta tetap
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain
kapada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah:18).
Shalat adalah perbuatan jasmaniah
dan sekaligus perbuatan ruhaniah manusia, sebagaimana badan manusia memerlukan
makanan, maka jiwa manusia juga memerlukan makanan pula. Lima kali sehari
semalam seorang Muslim wajib mendiikan shalat.
Islamlah yang pertama-tama
mengintegrasikan antara ibadah dengan kehidupan sehari-hari. Islam tidak
mengenal sabbat sebagaimana yang
dikenal oleh agama-agama lain, yaitu sehari dalam seminggu khusus diadakan
peribadatan dengan tidak mengerjakan pekerjaan lain.
Bila kita mengkaji firman Allah
dalam Al-Qur’an, maka akan kita temukan kategori shalat dalam penilaian Allah
Swt, yaitu:
a. Shalat mabuk
Firman Allah Swt, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendirikan shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisa’:43).
Dalam firman-Nya di atas, jelas-jelas Allah melarang
orang yang sedang mabuk untuk mendirikan shalat sampai mereka mengerti apa yang
mereka ucapkan dalam shalat.
b.
b. Shalat lalai
Firman Allah
Swt, “Maka kecelakaanlah (wail) bagi
orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai (sahun) dari
shalatnya.” (QS Al-Ma’un: 4-5).
Dalam Tafsir
Al-Azhar, Buya Hamka menjelaskan tantang makna yang terkandung dalam firman
Allah di atas, yaitu menunjuk kepada orang-orang yang lemah iman. Sekalipun
telah melakukan shalat, namun shalat itu justru membawa kecelakaan bagi
dirinya, karena tidak dilaksanakannya dengan penuh kesungguhan. Shalat itu
dilaksanakannya tidak bersumber dari kesadaran, bahwa sebagai seorang hamba,
sudah sepatutnyalah dia memperhambakan diri kepada Allah dan mendirikan shalat
sebagaimana yang diperintahkan Allah dengan perantaraan Nabi-Nya.
c.
c. Shalat malas/munafik
Mereka yang
mengerti apa yang diucapkan, namun tidak mematuhi atau melaksanakan apa yang
diucapkannya ketika shalat, disebut juga sebagai shalat orang-orang munafik.
Mereka mendirikan shalat hanyalah untuk menipu Allah dan orang-orang beriman,
sementara di dalam hatinya bersarang benci dan dendam kepada kaum Muslimin.
Kalau diseru untuk shalat mereka akan datang dengan malas.
d.
d. Shalat khusyuk
Agar kita dapat
melakukan shalat dengan khusyu’, maka Nabi Saw mengajarkan kita dalam
menjalankan setiap perbuatan berlaku ihsan. Artinya, ketika shalat, hendaklah
kita melihat Allah, namun kalau kita tidak bisa melihat Allah, hendaklah kita
yakin bahwa Allah sedang melihat apa yang sedang kita kerjakan.
Ketika menjawab
pertanyaan sahabatnya Zi’lin al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Rabb
Anda?”, Imam ‘Ali berkata, “Bagaimana saya mengabdi kepada dzat yang tidak
pernah saya lihat?” Zi’lin pun bertanya lagi, “Bagaimana Anda melihat-Nya?”
Imam Ali menjawab, “Dia tidak bisa dilihat dengan pandangannya yang kasat, tapi
bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan.”
e.
e. Shalat hafidz/terpelihara
Mereka yang
sudah mampu shalat dengan khusyu’ secara berkesinambungan disebut sebagai orang
yang shalatnya terpelihara atau shalat hafidz. Sebagai dampaknya mereka
terpelihara dari perbuatan keji dan munkar. “Dan
orang-orang yang memelihara shalatnya; Mereka itu kekal dalam Jannah lagi
dimuliakan.” (QS Al-Ma’arij: 34-35).
f. f. Shalat da’im/berketetapan
Mereka yang sudah
dapat mengaplikasikan nilai-nilai shalat di luar waktu shalat, itulah yang
disebut sebagai orang yang da’im dalam shalatnya. Ia berusaha semaksimal
mungkin mengaktualisasikan shalat dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu
segala aktivitas yang dilakukannya selalu disesuaikan dengan aturan Allah dan
sunnah Rasul-Nya. Lisan mereka tidaak pernah lalai menyebut Allah, hati mereka
tidak pernah luput berhubungan dengan Allah, sekalipun pada saat itu mereka
sedang berkarya maupun berniaga. Mereka berupaya semaksimal mungkin untuk
menyatukan gerak hati, gerak lisan dan gerak perbuatannya dalam rangka
mengikuti Qadrat dan Iradat-Nya semata.
Menurut Imam Al-Ghazali,
berdasarkan bacaan dalam shalat, manusia dapat diklasifikasikan dalam tiga
golongan, yaitu:
1)
Seseorang yang lidahnya bergerak, tapi hatinya
lupa dan lalai
2)
Seseorang yang lidahnya bergerak, hatinya
mengikuti lidahnya, lalu ia memahaminya seolah-olah ia mendengar dari orang
lain
3)
Seseorang yang hatinya mendahului makna bacaan,
lalu lidahnya melayani hati setelah menerjemahkannya. Jadi lidah mereka sebagai
juru terjemah yang mengikuti hati, bukan hati yang mengikuti lidah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar