Kamis, 17 Desember 2015

REVIEW NOVEL SEPTEMBER

"Tidakkah kalian sudah menyaksikan, mengamati, membaca, mendengar, dan menyadari semua fenomena alam yang kecil dan yang besar itu? Dan, pahamkah kalian bahwa semua itu tak lain adalah sarana, wahana, dan wacana yang paling demokratis, yang disampaikan secara langsung tanpa melalui perwakilan, oleh air, angin, api, dan tanah kepada kita, umat manusia yang tinggal di sekitar lingkungan mereka agar kita mengantisipasi segala kemungkinan bencana, atau meminta pertolongan agar kita memangkas cabang dan dedaunan yang terlalu rindang, atau kita mencegah segala hal yang memungkinkan terjadinya banjir, kekeringan, dan kebakaran? Bahkan terhadap gejala-gejala gempa bumi pun, permukaan air laut dan tingkah laku hewan-hewan sudah memberikan isyarat dan menyampaikan ekspresinya kepada kita, kepada manusia, sebelum bencana seolah datang tiba-tiba."
"Pertanyaannya adalah apakah kita, manusia sebagai penguasa di alam bumi, mau dan mampu mendengarkan suara-suara alam itu dan melaksanakan apa yang mereka inginkan dari kita dan menghentikan apa-apa yang tidak mereka inginkan dari kita? Kalau kita memang buta, tuli, dan bisu, kalau kita memang serakah dan egoistis, kalau kita memang tidak peduli dan tidak mau tahu, kalau kita memang indifferent dan membiarkan semua terjadi, sebagaimana adanya, sebagaimana kodratnya, dan bukan sebagaimana seharusnya terjadi maka apa yang akan terjadi di alam, akan sama seperti apa yang akan terjadi di dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan yakni akan terjadi bencana, malapetaka, penderitaan, kesengsaraan, penindasan yang kuat terhadap yang lemah, pelanggaran hak asasi manusia, ketidakadilan, korupsi, kolusi dan nepotisme, kematian, peperangan, penyakit dan wabah."

Demikian sebagaimana yang diucapkan oleh Bung Kresno dalam percakapannya dengan keempat anak muda yakni Tamara, Nadya, Niko, dan Bo Gesti. Kalimat tersebut perlu kiranya perlu direnungkan kembali mengingat kondisi negeri kini serta para pemuda yang kian hari kian indifferent terhadap situasi bangsa tercinta.
Novel "September" karya Noorca M. Massardi ini menceritakan kembali kisah tragedi 1965 dengan caranya yang begitu unik. Seorang Darius yang tiba-tiba memiliki kemampuan untuk "masuk dan kemudian berpindah-pindah" ke dalam tubuh orang lain dan mengetahui seluk-beluk kehidupan orang tersebut. Meskipun, pada awalnya saya merasa novel ini seperti aneh dan terkesan berputar-putar. Butuh membaca hingga ke bagian tengah untuk saya bisa mengerti bahwa novel ini sebenarnya menceritakan situasi Indonesia pada masa-masa G30S PKI, dimana pada saat itu tujuh jenderal dibunuh. 
Akan tetapi, novel ini merupakan novel fiksi, sebagaimana yang telah dikatakan oleh penulisnya pada halaman awal. Tokoh-tokohnya pun tentu saja ada beberapa yang merupakan tokoh sejarah, seperti Bung Karno yang dalam novel ini ialah Bung Kresno. Lalu, Gerakan 30 September yang diubah menjadi Gerakan 11 September. Konflik hubungan sesama jenis pun diangkat dalam novel ini. Cara pandang dan analisis tokoh-tokoh pun disampaikan dengan sangat cerdas sehingga novel ini selalu menarik untuk dibaca meskipun novel ini telah terbit sejak tahun 2006 lalu. Karena setiap sejarah memiliki daya tariknya tersendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar